Ingin Melayani Tamu Allah, Motivasi Gadis Indonesia Kelahiran Arab Saudi ini Jadi Petugas Haji
By Admin
Ruqayyah Asmar Abdul Hakim, tenaga pendukung petugas PPIH.
nusakini.com, --- Seorang pria Arab masuk dan bergabung dengan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) berseragam biru yang duduk mengelompok di lobi hotel InterContinental Dar Al Hijra, Madinah, jelang siang hari itu.
Hotel ini masuk dalam kawasan Sektor 1 Madinah, selain 17 hotel lainnya tempat jemaah haji Indonesia menginap. Pria muda Arab itu berbicara kepada para petugas PPIH. Namun tampaknya tak seorang pun benar-benar memahami maksud sang pria. Beberapa petugas PPIH berusaha menanggapi dengan bertanya, namun tidak memperbaiki kebingungan satu sama lain untuk saling memahami maksud sesungguhnya.
“Ayya mana ya… ”, Bu Djubaidah, koordinator layanan konsumsi di Sektor 1 Madinah yang ada dalam situasi itu tampak mencari-cari seseorang. Waktu berselang. Seorang gadis berseragam petugas haji Indonesia datang agak tergesa-gesa. Dia tampak mencari-cari di dalam ruangan. Setelah menerangkan situasi yang terjadi sekilas, Bu Djubaidah menunjuk ke arah pria Arab yang tadi bicara.
Dialah Ayya yang dimaksud, Ruqayyah Asmar Abdul Hakim. Ayya menuju ke arah pria yang sedang duduk di sudut lain ruang itu. Saya dengan segenap rasa penasaran mendekat, berusaha menyimak percakapan. Lebih karena ingin mendengarkan gadis Indonesia ini berbicara dalam bahasa Arab, kepada orang asli Arab.
Ayya berbincang beberapa saat dengan pria itu sambil menunjukkan informasi yang tersaji dalam tabel pada satu bendel kertas yang dipegangnya. Pria itu mengangguk-angguk, sesekali menatap Ayya sekilas. Saya berusaha makin mendekat karena Ayya bersuara halus dan perlahan. Tak lama kemudian, si pria Arab bergegas pergi keluar lobi hotel dengan wajah lega. Tampaknya persoalan atau apapun itu, selesai.
“Ada apa Ya?”
“Dari syarikah, bertanya tentang kedatangan hari ini ada di hotel mana aja di wilayah Syamaliyah."
“Oh", tanggap saya.
Bahasa yang sama memang salah satu kunci saling memahami. Sulit membayangkan misi besar pelayanan ibadah haji Indonesia ini terselenggara dengan baik dan lancar, tanpa dukungan petugas yang mampu berbahasa Arab. Jelas memang ada, petugas dari tanah air dengan kemampuan berbahasa Arab yang tergabung dalam tim petugas PPIH. Bahkan itu menjadi pertimbangan khusus pada seleksi administratif calon PPIH dari waktu ke waktu. Namun jumlah petugas yang mampu berbahsa Arab dengan fasih dan aktif ini tampaknya masih terbatas.
Saya sendiri hanya mengisi pada bagian form mampu berbahasa Inggris dengan menyertakan sertifikat TOEFL sebagai bukti. Sejak di imigrasi di Bandara King Abdul Aziz di Jeddah, bahkan bertransaksi di kios atau toko, saya terpaksa tetap berbahasa Inggris, yang tentu kadang dipahami, kadang tidak, oleh lawan bicara.
Syukurnya, ada formasi petugas PPIH, orang Indonesia yang berasal dari Arab Saudi dan sekitarnya. Ini ada dari unsur mukimin, yaitu orang Indonesia yang sedang tinggal bermukim di Arab Saudi. Ada juga unsur petugas mahasiswa yang sedang kuliah di kawasan Timur Tengah di luar Arab Saudi seperti dari Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain.
Saya sempat takjub ketika kemudian mengetahui bahwa Ayya adalah tenaga pendukung di bagian layanan konsumsi PPIH, yang merupakan seorang mukimin. Saya antusias mendengar bahwa gadis berusia 26 tahun yang sepenuhnya "tampak Indonesia" itu, fasih berbahasa Arab karena lahir dan besar di Mekah. Periode terpanjang ia keluar dari Mekah hanya saat anak sulung dari lima bersaudara ini mengambil studi S-1 di Malaysia. Ayya sangat jarang ke Indonesia, dan itupun dalam waktu kurang dari satu bulan, terakhir pada tahun 2023.
Ummi dan Buya (Ibu dan Ayah) gadis berkulit putih ini asli orang Mandailing, Sumatera Utara. Ayahnya bekerja sebagai muthawif, antara lain melayani dan membantu serta memandu para jemaah umroh yang datang sepanjang tahun di luar musim haji.
Ketika ditanya motivasinya mendaftar sebagai petugas haji, Ayya yang tampak santun, bersahaja dan pemalu ini menjawab singkat dengan suaranya yang tenang dan menyejukkan, namun bernada yakin.
“Ingin melayani tamu Allah.” Jawaban ini jelas memberi sedikit rasa terkejut bagi saya. Saya kemudian mengejarnya dengan pertanyaan, motivasi apa lagi?
“Membantu para jemaah haji,” jawabnya tak kalah yakin, membuat saya berhenti bertanya tentang motivasi.
Tahun 2025 ini kali kedua Ayya menjadi tenaga pendukung, yaitu sejak musim haji 2024. Informasi rekrutmen diperoleh dari teman-temannya. Sama dengan rekrutmen petugas di tanah air, menurut Ayya ia mengikuti pendaftaran via website (aplikasi petugas haji), ujian CAT, dan wawancara.
Ditanya kesan menjadi petugas PPIH untuk pertama kalinya pada 2024, mengingat di penyelenggaraan tahun ini baru berjalan sekitar 2 minggu, Ayya menjawab perlahan.
“Sangat berkesan karena pengalaman pertama. Bahagia bisa membantu dan mendampingi jemaah, terutama lansia,” jawaban yang lagi-lagi menyentuh hati saya.
Momen mengharukannya menurut Ayya, adalah saat jemaah haji pulang, setelah berhari-hari berinteraksi selama jemaah berada di Mekah.
Bertugas di layanan konsumsi jemaah haji, bersama tim yang dipimpin Bu Djubaidah, setiap hari Ayya sudah siap bekerja sejak pukul 05.00 WAS.
“Tugas kami mendistribusikan makanan. Makan pagi dibagikan mulai jam 05.00 sampai jam 08.00, makan siang mulai dibagikan jam 12.00 sampai 14.00 dan makan malam malam dibagikan jam 17.00 sampai 19.00. Tugas di bagian konsumsi ini juga melakukan pengawasan katering, dan pengecekan sampel makanan sebelum dibagikan ke jemaah,” jelas Aya yang irit bicara, dalam dua tiga kali pertanyaan yang sama.
Karena lahir dan besar di Arab Saudi, Ayya mengaku betah dan nyaman tinggal di sini.
“Ingin tetap tinggal di Arab Saudi, jika Allah mengizinkan”, ujarnya bijak.
Ayya yang mengambil studi information technology ini, bercita-cita bekerja sebagai desainer website atau pembuat aplikasi. Ia menyukai konten Tiktok dari Arab Saudi yang berkaitan dengan konten editing. Ditanya apakah ia mengikuti konten-konten medsos di Tanah Air, Ayya menggeleng perlahan sambil tersenyum. Di Arab Saudi saat ini, wanita bekerja di ruang publik mulai biasa, walaupun terbatas.
Ditanya kesannya tentang Indonesia, Ayya sempat berpikir lama, sebelum menjawab. “Cuaca lebih lembab dibanding Arab. Aktivitas masyarakat dimulai pagi hari. Yang berkesan dan suka, jalan-jalan dan belanja karena harga lebih murah,” (dibanding di Arab Saudi).
Hari menuju sore. Bu Djubaidah yang mendampingi Ayya tampak gelisah melihat jam. Ia menggumam tentang hampir masuk waktu persiapan pembagian konsumsi untuk malam hari. Telfon Ayya berdering. Tampak tulisan yang tertera di layar gawainya berbahasa Arab. Saya menyudahi perbincangan dengan Ayya. Karena selama ini tak pernah bersentuhan, dengan anak-anak bangsa Indonesia yang lahir dan besar di Arab Saudi, perjumpaan dengan Ayya ini sungguh mencuri ruang di hati saya. (*)